Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu terakhir dilaksanakan tahun 2019, dan berarti tahun 2024 mendatang merupakan pemilu berikutnya. Pemilu kali ini direncanakan akan digelar pada Februari 2024. Penyelenggara pemilu dituntut untuk melakukan persiapan yang matang, agar pelaksanaan pemilu bisa berjalan lancar.
Ini menjadi tugas yang berat bagi penyelenggara pemilu dikarenakan harus memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan undang-undang, yaitu :dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pelaksanaan pemilu kali ini diperkirakan akan diwarnai adanya persaingan antara calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam memperebutkan suara rakyat. Ini akan berpotensi pada munculnya kecurangan.
Penyelenggara pemilu (KPU) di setiap provinsi harus memastikan pelaksanaan pemilu berlangsung jujur dan tanpa adanya kecurangan. Namun, hal ini tidak dapat dihindari. Seperti yang diakui oleh salah satu KPU di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara,mengakui bahwa ada beberapa wilayah di provinsi itu yang rawan terjadikecurangan dalam Pemilihan Umum(pemilu) tahun2024 mendatang.
Hal itu disampaikan oleh ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu Asril pada media beberapa waktu lalu.
Dari penjelasannya,bahwa kerawanan itu mencakuptentangpotensi terjadinya kecurangan dan akses menuju ke sejumlah TempatPemungutan Suara(TPS).
Seperti yang terjadi di Kabupaten Muna dan Konawe Selatan pada pemilu 2019 lalu.Kedua kabupaten itu,menduduki posisi tertinggi dalam hal kecurangan pemilu.
Hal ini digambarkan melalui grafik data yang diterima dari salah satu media yang menerangkanIndeks Kecurangan Pemilu (IKP) di Konawe Selatan mencapai angka 50,68 persen. Angkainitidak berbeda jauh dengan Kabupaten Muna yang berada di angka 49,91 persen.
Kendati demikian,terkait masalah kecurangan dalam pemilu ini, penyelenggara setempat menegaskanbahwapihaknya masih terus berupaya untuk mengantisipasi agarhal tersebuttidak terjadi lagi.
Nah, kalau ditarik lebih luas terkait soal indikasi kerawanan pada pemilu 2024 mendatang, penulis setidaknya membagi hal itu dalam dua kategori yaitu kerawanan dalam aspek keamanan dan kerawanan dalam aspek geografis.
Aspek kerawanan keamanan misalnya menyangkut aman tidaknya lokasi yang akan dijadikan Tempat Pemungutan Suara (TPS), proses rekapitulasi suara pemilihan hingga tahap penyelesaian sengketa pemilu.
Sedangkan aspek kerawanan geografis berhubung dengan kondisi suatu daerah, misalnya kawasan perbukitan atau kepulauan sehingga menjadikan akses menuju lokasi itu terbilang sulit, sehingga menjadikan pendistribusian logistik pemilu alami kendala dan beberapa hal lainnya.
Jadi penulis melihat,untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan pemilu 2024 yang akan datang, solusi yang diberikan penulis adalah denganmemberikan edukasi politik kepada para pemilihdanBadan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Sedangkan dari kaca mata partai politik sebagai peserta pemilu juga merasakan adanya banyak indikasi kecurangan pada saat pemilu.
Hal ini berkaca pada pemilu 2019 dan pilkada 2020, denganditemukannya cukup banyak tindak pelanggaran yang terjadi.
Agar potensi kecurangan pemilu itu bisa diminimalisir, maka penting kiranyamemberikan edukasi dan pendidikan politik kepada para pemilih, untuk tidak hanya memilihketikaproses pemungutan dan penghitungan suaranya saja,namun juga bisa menjadi proses elektoral dari awal hingga akhir pemilihan.Maksud dari proses elektoral ini adalah pemilih yang dipilih untuk memilih seorang calon.
Selain itu, pentingjugadilakukanolehpenyelenggarapemilu, memanfaatkanteknologidalammeminimalisir kemungkinan kecurangan yang terjadi pada saat pemungutan suara.
Misalnya, dengan penerapan irrekapitulasi atau irekap, yangdapatmemotong mata rantai manipulasi yang ada.
Masalah pendistribusian logistik bisa berpotensi kecurangan di daerah terpencil, karena distribusi terkait logistik kotak suara yang kurang, surat suara yang kurang, danlainsebagainya.
Penyelenggara pemilu harus berkoordinasi secara intensif dengan pihak penyedia maupun pihak ekspedisi guna mempercepat proses pengiriman.
Kemudian penyelenggara pemilu harus mempunyai rencana alternatif untuk mengatasi kendala yang mungkin timbul pada hari H pemungutan suara.Menyediakan surat suara tidak hanya untuk pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), namun juga untuk pemilih yang terdaftar dalam Daftar pemilih Tambahan (DPTb).
Perusahaan pencetak surat suara dan penyedia logistik pendukung,memiliki tanggungjawab untuk mendistribusikannya ke daerah, terutama daerah yang terpencil atau sulit di jangkau.Supaya semua masyarakat bisa berkontribusi atas suaranya untuk pemilu.
Jadi,masalah kecurangan dalam pemilihan umum ini harus disikapi denganserius,bagaimana kita mengupayakan aktivitas yang adaberjalan dengan lancar,agar proses pemilu terlaksana dengan adil dan berintegritas.(*)
Komentar