Badantam: Gotong Royong dan Martabat dalam Alek Baralek Pariaman

182 hit
Badantam: Gotong Royong dan Martabat dalam Alek Baralek Pariaman

Muhammad Fawzan

Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Di Pariaman, setiap pesta pernikahan bukan hanya milik dua keluarga, tapi milik seluruh nagari. Ketika alek baralek digelar, halaman rumah mempelai berubah menjadi pusat kehidupan sosial: aroma gulai merebak, musik talempong berirama, dan tamu datang silih berganti membawa amplop kecil yang disebut uang panggilan.

Inilah yang dikenal dengan tradisi badantam, salah satu wujud gotong royong paling hangat dalam budaya Minangkabau pesisir.

Lebih dari Sekadar Uang

Bagi orang Pariaman, badantam bukan sekadar memberi sumbangan uang, tapi juga meneguhkan nilai kebersamaan dan saling bantu.

"Uang panggilan itu bukan untuk membeli hidangan, tapi tanda kita datang dengan hati," ujar Mak Dama, seorang tetua kampung di Pauh.

Setiap tamu yang datang membawa amplopnya sendiri, biasanya berisi minimal Rp25.000, angka yang tampak kecil, tapi sarat makna. Memberi di bawah jumlah itu dianggap tidak pantas, bukan karena soal nominal, tapi karena menyangkut kehormatan diri.

Filosofinya jelas: datang ke pesta tanpa membawa sumbangan dianggap "indak baadat", tak tahu adat. Sebab di Minangkabau, segala sesuatu berdiri di atas prinsip timbal balik, hari ini kita memberi, esok orang lain akan datang menolong kita pula.

Dengan begitu, badantam bukan beban, melainkan tabungan sosial, jaring silaturahmi yang memperkuat nagari.

Ritual Solidaritas yang Menyatukan

Suasana badantam biasanya mencapai puncaknya di siang hari. Rumah baralek ramai oleh tamu yang datang berpasangan, membawa amplop atau dompet emas kecil.

Mereka disambut hangat oleh keluarga tuan rumah, lalu dipersilakan menikmati hidangan nasi lamak, gulai ayam, rendang, dan sambal lado mudo.

Setiap tamu yang menyerahkan amplop akan dicatat oleh panitia keluarga, bukan untuk menilai, tapi untuk mengingat dan membalas di kemudian hari.

Bagi keluarga dekat, simbol dukungan jauh lebih besar. Mereka datang membawa emas cincin, gelang, atau kalung, tanda tanggung jawab moral terhadap pernikahan tersebut.

Semua ini mencerminkan nilai luhur bahwa pernikahan bukan hanya urusan dua individu, melainkan urusan sosial, di mana semua pihak ikut menanggung suka dan duka bersama.

Makna Sosial yang Abadi

Di tengah perubahan zaman, badantam tetap bertahan sebagai sistem sosial yang hidup. Ia menyatukan masyarakat, menumbuhkan empati, dan menegaskan prinsip barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang, yang berat dipikul bersama, yang ringan dijinjing bersama.

Tradisi ini adalah bukti bahwa meski dunia berubah, semangat gotong royong di tanah Minang tidak pernah pudar.

Bagi masyarakat Pariaman, badantam adalah cermin: bahwa kemuliaan manusia bukan diukur dari banyaknya uang yang diberikan, melainkan dari ketulusan niat saat memberi.

Dalam setiap amplop kecil yang diserahkan, tersimpan nilai besar tentang solidaritas, martabat, dan kasih sayang antar sesama. (*)

(Disclamer: isi artikel diluar tanggung jawab penerbit)

Komentar