Penegakan Hukum di Kalangan ASN dan Para Pejabat Negara

500 hit
Penegakan Hukum di Kalangan ASN dan Para Pejabat Negara

Adib Fuadil Khairi

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Hukum

Bicara tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pejabat negara, bisa kita simpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terpilih dan dipercayai untuk mengatur dan mengurus semua pemerintahan baik itu pemerintahan dari skala terkecil kabupaten atau kota sampai ke pusat.

Berdasarkan pendapat Strong maka pengertian pejabat negara akan merujuk pada pengertian pemerintahan dalam arti yang luas.

Sedangkan pengertian pejabat pemerintahan (ASN) akan mengacu pada pengertian pemerintahan dalam arti yang sempit, atau pejabat yang berada pada lingkungan pemerintahan saja, yakni cabang kekuasaan eksekutif.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 43 tahun 1999 pasal 1 berbunyi "Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Sedangkan Pejabat Negara, "Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang".

Pernah terbesit di pikiran kita apa jadinya suatu negara tanpa pemerintahan dan orang-orang yang mengurusinya akan menjadi negara yang kacau dan tidak akan bisa melayani masyarakat.

Oleh karena itu mereka seringkali disebut sebagai pelayan masyarakat.

Terlepas dari tugas nya tersebut mereka seringkali bersinggungan dengan masalah hukum karena mereka sangat erat kaitannya dengan masyarakat.

Di sini saya akan membahas bagaimana penegakan hukum di kalangan ASN dan Pejabat Negara.

Melihat dari tugasnya, kita bisa ambil dari Undang-Undang Republik Indonesia No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 12 menyebutkan : "Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme".

Dan sebagaimana dalam undang-undang tersebut juga ASN dibagi kedalam beberapa fungsi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 berbunyi : "Pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat pemersatu bangsa".

Kita bisa menarik kesimpulan bahwa tugas dan kewajibannya begitu berat untuk melayani masyarakat, dan tugas dari pejabat negara tidak jauh berbeda dengan ASN.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik melalui pasal 6 ayat (1) menyatakan : "Guna menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan pembina dan penanggung jawab."

Strategisnya, peran pejabat publik tersebut juga diiringi tanggung jawab yang tidak sederhana.

Oleh karena itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) tugas pertama yang harus dilakukan pejabat publik setelah dilantik.

Pertama, membantu masyarakat untuk memahami hak dan tanggung jawabnya. Bukan tanpa alasan hal ini dilakukan.

Semakin cair hubungan masyarakat dengan pejabat publik. Maka, semakin pola komunikasi yang terbentuk juga semakin baik.

Publik menjadi leluasa untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi.

Pejabat publik mengetahui akar persoalan. Hingga akhirnya, muncul kesadaran untuk memahami hak dan kewajiban satu sama lain.

Kedua, membangun iklim pelayanan publik yang sehat. Budaya melayani memang bukan hal yang baru.

Pembangunan Zona Integritas dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani sebagaimana Permenpan RB Nomor 10 Tahun 2019 telah menjadi kewajiban bagi penyelenggara.

Namun, budaya melayani tersebut hanya akan berhenti pada dokumen admistratif apabila tidak dilakukan dengan kesadaran penuh.

Ketiga, terbuka dalam menyampaikan kondisi yang dihadapi internal. Sebagai bagian dari demokrasi, persoalan internal yang dihadapi penyelenggara adalah informasi yang ingin diketahui publik.

Kendati hal ini dianggap tabu oleh pejabat publik, namun tidak jarang pula kita mendengar dan menyaksikan pejabat publik melakukan taktik politik tanpa realisasi.

Misalnya, ketika dihadapkan pada kondisi banjir. Ketika tidak ada lagi yang mampu dipersalahkan.

Tawaran ganti kerugian kepada publik untuk mengajukan gugatan memang memberikan kesan menenangkan. Namun, ketenangan tersebut akan berganti menjadi cemas.

Apabila kita melirik pada bunyi Pasal 50 ayat (8) Undang-Undang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa "Mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden".

Seringkali tugas dan kewajiban para ASN dan Pejabat Negara yang berat mereka tidak luput dari masalah yang berurusan dengan hukum.

Kita bisa ambil contoh dari tindak pidana korupsi, suap, gratifikasi dan jual beli jabatan dan masih banyak lagi.

Mereka melakukan hal tersebut tidak lain tidak bukan karena ada kesempatan padahal mereka sudah tahu hukuman apa yang diberikan semisal mereka melakukan tindakan tersebut. Mulai dari hukuman disiplin sampai dengan pemecatan.

Disini saya akan mengambil tentang pelanggaran hukum jual beli jabatan, mungkin di telinga kita tidak asing mendengar istilah jual beli jabatan.

Terdapat ratusan kasus jual beli jabatan yang terjadi yang menjaring dari struktur pemerintahan paling bawah sampai pemerintahan yang tertinggi paling sering terjadi pada pemerintahan kabupaten atau kota yang menyeret bupati dan wali kota serta para ASN di lingkup pemerintahan tersebut.

Berdasarkan catatan dari KPK, tercatat sekitar 114 kepala daerah yang melakukan tindakan tersebut.

Pola yang terjadi, wali kota atau bupati meminta mahar untuk menunjuk orang-orang tertentu menempati jabatan tertentu.

Ini jelas melanggar hukum sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang "Para pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang (UU) No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan para pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1.

Mereka tidak lain tidak bukan melakukan tindakan tersebut untuk jabatan dan kekayaan semakin tinggi jabatan yang mereka pegang, maka semakin banyak kekayaan yang mereka dapatkan.

Faktor lain yang menyebabkan mereka melakukan hal tersebut yaitu gaya hidup para pejabat yang begitu tinggi.

Mereka beranggapan bahwa image dalam masyarakat harus bagus dan terlihat glamor mereka lupa mereka adalah pelayan masyarakat.

Sedangkan di sisi lain negara sudah banyak memberikan mereka fasilitas yang sangat menunjang seperti gaji pokok, tunjangan, kendaraan dinas, rumah dinas, ajudan sampai dana pensiun tidak lain tidak bukan supaya mereka bisa melayani masyarakat dengan baik.

Hal lain yang melatarbelakangi mereka melakukan hal tersebut yaitu membalikan modal politik yang begitu besar bagi para pejabat negara.

Lemahnya para pengawas dari struktur daerah sampai pusat membuat para oknum tersebut leluasa melakukan pelanggaran tersebut.

Menurut ICW, maraknya korupsi di daerah karena kurangnya pengawasan dari pusat.

Sementara, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman menyebutkan, selain masalah kewenangan kepala daerah dalam masalah kepegawaian.

Perbuatan jual beli jabatan menunjukkan kurangnya integritas yang dimiliki.

Menurut penjelasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya ada 3 modus praktik jual beli jabatan di lingkungan ASN saat ini.

Pertama, karena ada bargaining politik selama pilkada, sebagaimana telah disampaikan di atas.

Kedua, melelang jabatan sesuai tingkatannya. Misalnya, seperti yang disampaikan dalam laporan KSAN Tahun 2017, harga posisi Eselon IV ditawarkan seharga Rp10 - Rp15 juta. Pejabat Eselon III dilelang seharga Rp30 - Rp80 juta.

Unit pelaksana teknis dinas dilelang seharga Rp100 juta. Posisi Kepala Sekolah seharga Rp125 - Rp150 juta. Pejabat Eselon III dengan Posisi Sekretaris dan Kepala Bidang dilelang seharga Rp150 juta.

Jabatan Pratama seharga Rp300 juta. Eselon II dengan jabatan Kepala Dinas dilelang seharga Rp500 juta.

Semua posisi ini diidentifikasi berasal dari proses seleksi pengangkatan jabatan yang 53% pelaksanaannya dilakukan secara tertutup, dan 47% peluang sisanya dilakukan secara terbuka.

Lingkungan yang sering dijadikan obyek pelelangan memiliki komposisi menyebar di 34 lingkungan kementerian, 39 lembaga, 78 lembaga non struktural, 34 pemprov dan 508 pemkab/pemkot.

Ketiga, motif berikutnya adalah karena adanya bargaining politic antara kepala daerah dan yang meminta jabatan.

Biasanya hal ini terjadi dengan keharusan pejabat yang dilantik harus menyetorkan sejumlah uang sesuai dengan jabatan yang diinginkannya.

Dilaporkan juga bahwa kerugian negara yang terjadi akibat praktik ini, pada Tahun 2017 adalah sebesar Rp35 triliun.

Tahun 2019, dilaporkan mencapai Rp120 triliun, dan tahun 2020 sebagaimana diberitakan adalah mencapai Rp350 triliun.

Menurut keterangan beberapa ahli hukum, peluang bagi terjadinya praktik jual beli jabatan ini sebenarnya berangkat dari bunyi Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Pasal 53 UU ASN menyebutkan bahwa presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada menteri di lingkungan kementerian, pimpinan lembaga di lembaga pemerintah non kementerian, sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga non-struktural, gubernur di provinsi, dan bupati/wali kota di kabupaten/kota.

Komentar