Rancak Dilabuah Pepatah Minangkabau yang Menyelami Makna Dibalik Penampilan Luar

104 hit
Rancak Dilabuah Pepatah Minangkabau yang Menyelami Makna Dibalik Penampilan Luar

Hastri Darma Partiwi

Mahasiswa Unand Fakultas FIB Jurusan Sastra Minangkabau

Pepatah Minangkabau merupakan cerminan kearifan lokal yang sarat makna dan nilai-nilai kehidupan. Salah satu pepatah yang menarik untuk dikaji adalah "rancak di labuah".

Secara harfiah, pepatah ini berarti "indah atau bagus di luar (di jalan)" yang sering digunakan menggambarkan seseorang atau sesuatu yang tampak baik secara lahiriah, tetapi belum tentu demikian jika dilihat lebih dalam.

Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi adat, budaya, dan nilai moral, pepatah ini menjadi semacam pengingat agar tidak mudah terpesona oleh tampilan luar saja.

Di Minangkabau diajarkan agar tidak terpesona dengan penampilan luar tetapi kita juga harus melihat bagaimana hati, etika, sopan santun dan lainnya.

Makna Leksikal dan Filsafat

Pepatah "rancak di labuah" berasal dari tiga kata: rancak (bagus, cantik, menarik), di (di), dan labuah (jalan, tempat umum, rumah, lingkungan dan lain-lain).

Jadi, maknanya secara leksikal adalah sesuatu atau seseorang yang tampak menarik di tempat umum.

Namun dalam konteks peribahasa, pepatah ini mengandung makna kiasan yang lebih dalam.

Makna filosofisnya menyiratkan bahwa tidak semua yang tampak bagus di luar memiliki kualitas yang sama di dalam.

Hal ini mencerminkan nilai kehati-hatian dan keputusan dalam menilai sesuatu.

Masyarakat Minangkabau yang sangat menjunjung budi dan adat, percaya bahwa nilai sejati seseorang terletak pada hati, sikap, dan perilakunya — bukan sekadar penampilan fisik atau tutur kata di muka umum.

Konteks Penggunaan dalam Budaya Minang

Dalam tradisi lisan dan interaksi sosial masyarakat Minangkabau, pepatah ini sering digunakan dalam berbagai konteks, antara lain:

1. Perjodohan dan Pernikahan;

Ketika seorang laki-laki ingin memilih calon istri, orang tua biasanya diperingatkan dengan pepatah ini agar tidak hanya melihat kecantikan fisik atau perilaku di depan umum, tetapi juga menyelidiki latar belakang keluarga, akhlak, dan perilaku sehari-hari calon pasangan.

2. Penilaian Terhadap Kepemimpinan;

Dalam memilih pemimpin adat atau tokoh masyarakat, masyarakat Minang berhati-hati agar tidak tertipu oleh pidato yang hebat atau penampilan yang rapi.

Mereka akan melihat konsistensi antara ucapan dan tindakan. Kita juga harus melihat apa yang mereka katakan apakah sesuai dengan yang mereka kerjakan atau apakah sesuai dengan kenyataan.

3. Pergaulan Sehari-hari;

Pepatah ini juga menjadi peringatan agar berhati-hati terhadap orang-orang yang tampaknya baik, tetapi ternyata menyimpan niat buruk atau memiliki watak buruk.

Nilai-Nilai yang Terkandung

Beberapa nilai penting yang bisa dipetik dari pepatah ini antara lain:

1. Kritik Terhadap Kemunafikan;

Pepatah ini mengandung kritik terhadap orang-orang yang hanya menonjolkan citra atau tampil baik di depan umum, namun memiliki perilaku buruk di balik layar.

2. Pentingnya Integritas dan Konsistensi;

Menjadi baik bukan hanya soal penampilan, tapi bagaimana seseorang memperhatikan saat tidak dilihat banyak orang. Pepatah ini mengajak kita untuk menjadi pribadi yang utuh dan tidak berpura-pura.

3. Kebijaksanaan dalam Menilai Orang;

Kita diajarkan untuk tidak mudah terpesona oleh tampilan luar, melainkan menyelidiki latar belakang dan niat seseorang secara bijaksana sebelum mempercayainya.

4. Ketelitian dan Kecermatan dalam Bertindak;

Masyarakat Minang dikenal teliti dan penuh pertimbangan. Pepatah ini merupakan refleksi dari sikap kehati-hatian itu, khususnya dalam membuat keputusan penting.

Relevansi dalam Konteks Modern

Di era media sosial dan pencitraan seperti sekarang, pepatah "rancak di labuah" menjadi sangat relevan.

Banyak orang terlihat "sempurna" di media sosial: penuh senyum, berpakaian menarik, penuh prestasi namun semua itu belum tentu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.

Banyak kasus di mana kehidupan seseorang yang tampak indah dari luar ternyata menyimpan kesedihan atau konflik yang dalam.

Demikian pula dalam dunia politik, bisnis, bahkan pertemanan sehari-hari, kita sering kali terjebak oleh kemasan.

Padahal, isi jauh lebih penting dari bungkus. Pepatah ini seolah menegur masyarakat modern yang terlalu mudah terpesona oleh branding, tampilan luar, dan popularitas semu.

Dibandingkan dengan Pepatah Lain

Pepatah rancak di labuah memiliki padanan dengan pepatah Indonesia seperti "jangan menilai buku dari sampulnya", atau "tong kosong nyaring bunyinya".

Namun, rancak di labuah memiliki nuansa budaya yang khas karena lahir dari masyarakat yang menjunjung adat dan tatanan nilai yang kuat.

Di Minangkabau, setiap tindakan harus berlandaskan pada nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS, SBK).

Artinya, penilaian terhadap seseorang atau sesuatu harus didasarkan pada moral, agama, dan nilai adat. Pepatah ini menjadi refleksi dari sistem nilai tersebut.

Kesimpulan

Pepatah Minangkabau rancak di labuah mengandung makna yang mendalam dan relevan sepanjang zaman.

Ia mengajarkan kita untuk tidak mudah terkecoh oleh penampilan luar yang memikat, karena apa yang tampak indah di permukaan belum tentu mencerminkan kualitas yang sesungguhnya.

Dalam budaya Minang, penilaian terhadap seseorang tidak hanya dilihat dari rupa atau tutur kata di tempat umum, melainkan juga dari sikap, akhlak, serta latar belakang keluarga dan kehidupan sehari-harinya.

Di era modern, di mana citra dan pencitraan sering kali menjadi ukuran utama dalam menilai seseorang, pepatah ini hadir sebagai nasihat bijak yang sangat penting.

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kemasan, media sosial, dan opini publik yang mudah berubah.

Oleh karena itu, kita perlu kembali ke nilai-nilai lama yang menekankan integritas, kejujuran, dan kebijaksanaan.

Rancak di labuah bukan sekedar peribahasa, melainkan cerminan nilai luhur masyarakat Minangkabau yang patut dijadikan pedoman dalam kehidupan.

Dengan memahami pepatah ini, kita diajak untuk lebih berhati-hati, tidak mudah menilai orang secara remeh, dan selalu mengutamakan esensi dibandingkan sekadar tampilan. (*)

Komentar