Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keamanan dan kehalalan produk semakin meningkat, sehingga sertifikasi halal tidak lagi dipandang sebagai formalitas.
Bagi mayoritas konsumen Muslim di Indonesia, label halal menjadi bentuk perlindungan sekaligus jaminan bahwa setiap produk yang dikonsumsi benar-benar sesuai dengan standar kehalalan yang dapat dipercaya.
Pemerintah merespons kebutuhan ini dengan membangun sistem jaminan produk halal dan membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab mengatur serta mengawasi proses sertifikasi.
Kehadiran sistem tersebut diharapkan mampu memberikan ketenangan bagi konsumen, sekaligus membantu pelaku usaha meningkatkan mutu produk dan memperkuat daya saing mereka, baik di pasar nasional maupun internasional.
Peran tersebut kemudian diwujudkan melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diberi kewenangan untuk menjalankan sistem secara menyeluruh.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang kemudian diperkuat dengan PP 31 Tahun 2019 juncto PP 39 Tahun 2021 serta PMA Nomor 26 Tahun 2019, menjelaskan bahwa BPJPH memegang peran sentral mulai dari pendaftaran, koordinasi dengan LPH, hingga penerbitan dan pengawasan sertifikat halal.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, baik dari sisi teknis maupun struktural, sehingga proses sertifikasi sering kali belum efisien yang diharapkan.
Salah satu persoalan yang sering muncul adalah belum selarasnya pembagian peran antara BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Meskipun BPJPH memiliki mandat administratif, proses penetapan halal tetap berada pada kewenangan MUI sebagai pemegang otoritas fatwa. Di saat yang sama, LPH melakukan audit teknis yang hasilnya harus dikaji kembali sebelum penetapan akhir.
Kondisi ini membuat jalur sertifikasi menjadi panjang dan rentan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, terutama ketika koordinasi antarlembaga belum berjalan optimal.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa sistem jaminan produk halal masih membutuhkan penataan ulang agar layanan dapat berlangsung lebih cepat, sederhana, dan konsisten.
Rekonstruksi kewenangan BPJPH menjadi langkah penting untuk memperjelas batas tugas masing-masing lembaga, menyederhanakan alur kerja, serta menghindari duplikasi proses.
Dengan struktur kewenangan yang lebih tegas dan mekanisme kerja yang lebih terintegrasi, sertifikasi halal di Indonesia diharapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi konsumen, tetapi juga memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban halal secara efektif dan efisien.
Berdasarjan fakta dilapangan, berbagai pelaku usaha terutama UMKM masih menghadapi tantangan ketika mengajukan sertifikasi halal. Banyak di antara mereka mengeluhkan lamanya waktu proses, ketidaksamaan prosedur antar daerah, hingga persoalan teknis seperti keterbatasan jumlah LPH di wilayah tertentu.
Tidak sedikit pula yang mengalami kebingungan karena harus berhadapan dengan beberapa lembaga sekaligus, mulai dari BPJPH untuk pendaftaran, LPH untuk audit, hingga MUI untuk penetapan fatwa.
Kompleksitas ini sering kali membuat pelaku usaha menunda pengajuan sertifikasi, padahal kewajiban halal terus berjalan dan semakin diperluas cakupannya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih ada gap antara regulasi dan implementasi. Walaupun kerangka hukum sudah menetapkan alur sertifikasi dengan jelas, akan tetapi kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih jauh dari ideal.
Ketidakseimbangan jumlah auditor halal, minimnya fasilitas pemeriksaan di beberapa daerah, hingga hambatan dalam integrasi sistem digital turut memperlambat proses pelayanan.
Jika tidak segera dibenahi, hambatan-hambatan ini dapat mengurangi efektivitas kebijakan halal nasional dan menghambat tercapainya target sertifikasi halal secara menyeluruh.
Di Sumatera Barat, tantangan dalam pelaksanaan sertifikasi halal juga dirasakan oleh banyak pelaku usaha, terutama UMKM kuliner dan produk olahan yang merupakan sektor dominan di daerah tersebut.
Meskipun animo pelaku usaha untuk memperoleh sertifikasi halal cukup tinggi karena karakter masyarakat Minangkabau yang religius dan menempatkan kehalalan sebagai nilai penting proses pendaftarannya masih sering menghadapi hambatan.
Beberapa pelaku usaha mengaku kesulitan memahami alur sertifikasi, akses terhadap pendamping PPH belum merata di seluruh kabupaten/kota, serta keterbatasan auditor halal yang menyebabkan proses pemeriksaan memakan waktu lebih panjang dibanding yang diharapkan.
Selain itu, koordinasi antara BPJPH daerah, LPH, dan MUI setempat tidak selalu berjalan mulus. Di beberapa kasus, pelaku usaha harus menunggu jadwal audit cukup lama karena jumlah LPH yang beroperasi masih terbatas.
Sementara itu, proses penetapan fatwa halal juga membutuhkan sinkronisasi yang baik agar tidak menimbulkan antrean atau keterlambatan. Ketidakseimbangan kapasitas antar lembaga inilah yang membuat alur sertifikasi di Sumbar masih belum sepenuhnya efisien.
Kondisi ini semakin mempertegas perlunya rekonstruksi kewenangan dan pembenahan tata kelola lembaga halal secara nasional agar pelayanan di daerah, termasuk Sumatera Barat, bisa berjalan lebih cepat, mudah, dan terintegrasi.
Melihat berbagai kendala tersebut, rekonstruksi kewenangan BPJPH menjadi kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda. Penataan ulang wewenang antarlembaga diperlukan agar proses sertifikasi halal tidak lagi berjalan terpisah-pisah.
Koordinasi antara BPJPH, LPH, dan MUI harus diperjelas dalam regulasi turunan maupun dalam mekanisme kerja di lapangan.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mempertegas batas kewenangan administratif BPJPH dan kewenangan penetapan fatwa MUI, sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau duplikasi proses yang justru memperlambat layanan.
Penyederhanaan alur kerja melalui satu pintu layanan yang benar-benar terintegrasi juga akan membantu mempercepat proses bagi pelaku usaha.
Penguatan kapasitas lembaga pendukung seperti LPH dan auditor halal juga menjadi bagian penting dari rekonstruksi ini. Pemerataan jumlah auditor di setiap daerah, termasuk di Sumatera Barat, akan sangat membantu mengurangi antrean audit.
Optimalisasi sistem digital halal yang menghubungkan BPJPH, LPH, dan MUI secara real-time juga diperlukan agar proses verifikasi dokumen, audit, hingga penetapan bisa dilakukan lebih cepat dan transparan.
Dengan rekonstruksi kewenangan yang lebih tegas dan penguatan kapasitas kelembagaan, sertifikasi halal di Indonesia dapat berjalan lebih efisien, memberikan kepastian hukum bagi konsumen Muslim, dan mendorong pelaku usaha untuk tumbuh lebih kompetitif di pasar yang terus berkembang. (*)
(Disclaimer : isi tulisan diluar tanggungjawab penerbit)


Komentar