Formulasi Kebijakan Kesehatan Dari Kahutla

3246 hit
Formulasi Kebijakan Kesehatan Dari Kahutla

Linda Handayuni

Mahasiswa Doktoral Ilmu Ilngkungan Universitas Negeri Padang

Di era globalisasi saat ini, lingkungan hidup kita mengalami banyak tekanan. Tekanan-tekanan tersebut berasal dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia. Hal ini disebabkan populasi manusia atau penduduk bertambah terus. Pertambahan penduduk berarti meningkatnya kebutuhan manusia. Meningkatnya kebutuhan manusia menuntut tersedianya sumberdaya alam dan lingkungan Salah satu bentuk kebutuhan tersebut adalah kebutuhan pangan yang berasal dari kelapa sawit. Kelapa sawit bahan dasar yang diolah menjadi berbagai produk yang diolah oleh industri. Industri memerlukan bahan baku kelapa sawit yang harus tersedia. Hal ini memerlukan lahan perkebunan yang luas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Cara cepat dan ekonomis membuka lahan ini adalah membakar semak belukar. Inilah pemicu kebakaran hutan dan lahan yang banyak terjadi di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Barat.

Kebakaran

Wilayah yang terkena dampak kebakaran adalah Kota Payakumbuh, dan kabupaten Tanah Datar, Kota Solok, Kota Padang, Kabupaten Pariaman dan beberapa wilayah Provinsi Sumatera Barat pada kejadian kebakaran/pembakaran hutan dalam 10 tahun terakhir merupakan wilayah yang paling parah terpapar asap. Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah tersebut diatas lima tahun terakhir (2015-2020) sangat sering terjadi dan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat dan kegiatan Aparat Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

Dampak Kebakaran

Kebakaran memberikan dampak yang sangat terlihat yaitu Kabut asap (smog) dan debu yang dibawa angin ketika terjadi kebakaran/pembakaran hutan Provinsi Riau menjadikan pada sebagian daerah Wilayah Sumatera Barat berada di bagian bawah Nilai Ambang Batas (8,68 mg/m3) sehingga kemungkinan ada kaitannya gangguan kesehatan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), Pneumonia, Asma, Iritasi mata dan Kulit.

Dampak kebakaran sangat jelas merugikan karena menimbulkan penyakit saluran napas dan penyakit kulit serta penyakit sampingan lainnya. Dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan sangat luas, antara lain kerusakan ekologi, menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, serta penurunan kualitas udara. Kabut asap mengganggu kesehatan saluran pernafasan, suplai oksigen ke jantung, paru-paru dan pemicu keletihan. Hal ini secara nyata mempengaruhi produktivitas manusia dalam bekerja. Berdasarkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan kita perlu merumuskan kebijakan yang baik dalam mengurangi dampak kebakaran terhadap kesehatan.

Kebijakan

Berdasarkan Amanat UU No.36 Tahun 2009 ditindak lanjuti oleh Inpres RI No. 11 Tahun 2015 tentang peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan khusus kepada menteri kesehatan agar dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan penanganan dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan. Permenkes No. 13 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan peleyanan kesehatan lingkungan di puskesmas dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat meliputi penyelenggaraan untuk sumber daya, pemantauan dan evaluasi serta pencatatan dan pelaporan.

Untuk mengurangi Dampak tersebut harus daerah harus membuat formulasi kebijakan yang dapat mengurangi kejadian kebakaran untuk masa akan datang. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.

Formulasi kebijakan dikenal dengan Policy as decisions of government. Kebijakan publik sebagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan publik sebagian besar merupakan usulan pemerintah setelah memperhatikan dengan seksama adanya masalah yang sangat urgen dan menyentuh kepentingan rakyat banyak. Pemerintah mempunyai tanggung jawab membuat pilihan tindakan berupa keputusan / kebijakan public.

Formulasi kebijakan

Tulisan ini bersumber dari hasil penelitian program doktoral yang sedang penulis jalani. Penelitiannya berfokus Bagaimana menghasilkan pemecahan masalah dampak kebakaran hutan yang dituangkan dalam formulasi kebijakan kesehatan lingkungan dalam rangka menurunkan dampak yang ditimbulkan oleh kabut asap di Kota Payakumbuh dan Formulasi kebijakan tersebut dapat menanggulangi tingginya angka penyakit akibat dampak kabut asap.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Payakumbuh yang di daerah dataran tinggi bagian dari Bukit Barisan. Berada pada hamparan kaki Gunung Sago, bentang alam kota ini memiliki ketinggian yang bervariasi. Topografi daerah kota ini terdiri dari perbukitan dengan rata-rata ketinggian 514 m di atas permukaan laut. Wilayahnya dilalui oleh tiga sungai, yaitu Batang Agam, Batang Lampasi, dan Batang Sinama. Suhu udaranya rata-rata berkisar antara 26 C dengan kelembapan udara antara 45--50%. Payakumbuh berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukittinggi atau 120 km dari Kota Padang dan 188 km dari Kota Pekanbaru. Wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Lima Puluh Kota. Dengan luas wilayah 80,43 km atau setara dengan 0,19% dari luas wilayah Sumatra Barat, Payakumbuh merupakan kota terluas ketiga di Sumatra Barat.

Hasil Berdasarkan Wawancara

Berdasarkan hasil rekapitulasi dari jawaban responden tentang peran dinas kesehatan dalam penanggulangan kabut asap di Kota Payakumbuh belum terstruktur dan belum siapnya secara optimal dan langkah-langkah yang dilakukan oleh dinas kesehtan Kota Payakumbuh belum memadai, dari sepuluh langkah yang sudah dilakukan yang memadai hanya 30 % dan 70 % tidak memadai.

Analisis Kebijakan Publik di Tinjauan Dari Ilmu Lingkungan

Pencemaran udara sangat mempengaruhi lingkungan alami, buatan dan sosial. Pada lingkungan alami terganggunya/tercemarnya udara oleh asap kebakaran hutan yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat secara keseluruhan tampa pandang orang dan usia. Pada lingkungan buatan, dampak yang dirasakan bagi petani dan peternakan. Hasil tani dan ternak akan menurun bahkan pada ternak dapat mengalami kematian sedangkan pada hasil tani bisa berkurang. Pada lingkungan sosial akan berdampak pada ekonomi masyarakat dimana akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan.

Proses Pembuatan Formulasi Kebijakan Kesehatan Lingkungan Dalam Penanggulangan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Pada Formula Kebijakan Kesehatan Lingkungan Penaggulangan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam proses penangan dampak kebakaran hutan di Kota Payakumbuh. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah belum terdapat Formulasi yang digunakan sebagai bahan model, proses penanganan yang masih terpaku pada formalitas, kurangnya keseragaman pemahaman staf terhadap setiap langkah kerja yang dilakukan dalam penanganan, Masyarakat tidak sepenuhnya mendapatkan pelayanan karena over kapasaitas, masyarakat tidak dapat menangani dampak terutama dalam hal kesehatan secara mandiri, karena tidak adanya bahan informasi yang memadai, maka perlu di lakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Penyusunan Agenda

  1. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu yang menyebabkan dan penyakit ini sering terjadi ketika terjadi kebakaran hutan. Khusus penanganan ISPA.
  2. Meoptimalkan seluruh peralatan dan SDM terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
  3. Belum optimalnya pelaksanaan kebijakan lingkungan kesehatan terhadap dampak penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
  4. Mengadakan koordionasi lintas program dan lintas sektor yang meliputi singkonisasi kegiatan penanngulangan bencana melalui Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran

Perumusan Formulasi

  1. Perumusan : Masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam proses penanganan dapak kebakaran
  2. Perencanaan : Merumuskan Formulasi kebijakan kesehatan dalam penanggulangan dampak kebakran hutan dan lahan
  3. Pelaksanaan : Proses penanganan masih terpaku pada formalitas, kurangnya keseragaman pemahaman staf terhadap setiap langkah kerja yang dilakukan dalam penanganan,, Masyarakat tidak sepenuhnya mendapatkan pelayanan karena over kapasaitas, Masyarakat tidak dapat menangani dampak terutama dalam hal kesehatan secara mandiri, Tidak adanya bahan informasi yang memadai.
  4. Koordinasi Lintas bidang : Setiap korban akibat bencana mendapat pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara maksimal dan manusiawi, Prioritas utama penanganan gawat darurat medic, munculnya bencana lanjutan, di wilayah yang terkena bencana dan lokasi pengungsian, Koordinasi pelaksanaan penanganan krisis kesehatan akibat bencana dilakukan secara berjenjang mulai dari termasuk bantuan negara sahabat, lembaga donor, LSM nasional atau internasional, dan masyarakat, Bantuan kesehatan dari dalam maupun luar negeri, perlu mengikuti standar dan prosedur yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan., Pengaturan distribusi bantuan bahan, obat.

Pengambilan Keputusan

Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, ditemukannya kebijakan yang belum dilaksankan secara optimal sehingga dapat disusun sebuah kebijakan, kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan yg efisen dan efektif dan diputuskan sebagai suat kebijakan yang memiliki kekuatan hukum.

Implementasi

  1. Membuat Team Khusus Gerakan Cepat dan Satgas Kesehatan;
  2. Melaksanakan Replika Haksismen (RH) untuk mendat keadaan geografis, jumla penduduk yang terkena dampak kabut asap kebakaran hutan;
  3. Melakukan konsulidasi dan kesiapsiagaan Institusi Pelayanan Kesehatan;
  4. Mendistribusikan masker ke Instansi Seperti Puskesmas, sekolah, dan Organisasi lainnya; Membuat posko kesehatan dibeberapa titik.

Monitoring

  1. Penanggung jawab kesehatan dalam penangangan bencana kabut asap di tingkat Kabupaten/ Kota adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
  2. Pelayanan kesehatan darurat untuk korban bencana kabut asap (Pos Kesehatan 24 jam, mobile clinic, field hospital)
  3. Pelayanan kesehatan rujukan.
  4. Setiap korban bencana kabut asap mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara manusiawi dan optimal
  5. Penanggulangan korban di sarana pelayanan kesehatan adalah gratis (dijamin Pemerintah).
  6. Obat dan logistik kesehatan (buffer stock, persediaan obat dan logistik kesehatan di daerah tidak boleh kosong, Pusat dapat memberikan obat dan logistik kesehatan langsung ke daerah bencana, apabila persedian obat dan logistik kesehatan di daerah habis).
  7. Mobilisasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
  8. Dalam melaksanakan tugasnya tenaga kesehatan harus bebas dari ancaman bahaya dan mendapatkan perlindungan dari organisasi profesi sesuai dengan keahliannya.
  9. Pemberian insentif dan pengurangan masa tugas bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah bencana.
  10. Memobilisasi sumber daya, termasuk yang ada di pusat- pusat regional bila diperlukan.
  11. Prioritas yang mengarah pada kebutuhan khusus pada kelompok yang rentan termasuk anak-anak, perempuan, lansia, penyandang cacat dan pengungsi.
  12. Koordinasi lintas program dan lintas sektor untuk menjamin semua prioritas kesehatan masyarakat telah tercakup.

Evaluasi

Masing-masing penanggungjawab program sesuai dengan tingkatan administratif sehingga hasil akhirnya meningkatnya efisiensi dan efektifitas keberhasilan program. Penilaian ini dilakukan dengan standar yang sudah baku oleh pihak ketiga. Hasil yang sudah dilakukan terhadap pelaksanaan evaluasi kebijakan melalui langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh dinas kesehatan Kota Payakumbuh dengan tipe kriteria adalah efektifitas 60%, efisiensi 75%, kecukupan 55%, peralatan 70%, resposivitas 45% dan ketepatan 75%.

Dalam melakukan evaluasi atau sebuah program/kebijakan yang dapat memberikan masukkan bagi pemerintah/pembuat keputusan denga hasil yang dapat dipertanggung jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinctive (karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena beragam kebijakan yang menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai; serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami kriteria evaluasi yang harus dipenuhi.

*Artikel ini ditulis berdasarkan disertasi untuk penyelesaian S-3 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Negeri Padang dengan tim promotor Prof. Dr. Eri Barlian, M.S. dan Co Promotor Dr. Abdul Razak, M.Si dan dengan tim Penguji: Prof. Ganefri Ph.D, Prof. Yenni Rozimela.,M.Ed, Ph.D, Prof. Dr. Atmazaki, M.Pd, Prof. dr. Nur Indrawaty Lipoeto, M.Med. Sci, Ph.D (Universitas Andalas Padang), Dr. Nurhasan Syah, M.Pd dan Heldi, M.Si, Ph.D.

Komentar